Sabtu, 10 Maret 2012

tortor batak


TORTOR BATAK dan Seni Budaya

Bila mendengar istilah ”Tortor Batak” maka yang terbayangkan adalah sekelompok orang (Batak Toba) yang menari (manortor) diiringi seperangkat alat musik tradisional (gondang sabangunan). Gerak tari yang gembira ria, lenggak-lenggok yang monoton, yang digelar dalam sebuah pesta (suka/duka) di kawasan Tapanuli  Dulu, tradisi manortor pada umumnya berlangsung dalam kehidupan masyarakat Batak antara lain wilayah Samosir, wilayah Toba dan sebagian Humbang. Sementara untuk kawasan Silindung setelah masuknya Kristen dikenal budaya “menyanyi” dan tarian “moderen” dan di kawasan Pahae dikenal tumba (tarian gembira dengan lagu berpantun) seperti disebut Pahae do mula ni tumba.
Perkembangan selanjutnya hingga memasuki abad “modern” masyarakat Batak membawa seni budayanya ke tanah perantauan di luar Tapanuli  termasuk seni tortor yang pada awalnya menggunakan musik rekaman (kaset) hingga akhirnya seperangkat alat gondang sabangunan dibawa hijrah yang kemudian kelompok musik tradisionalnya melayani masyarakat Batak sekaligus mata pencaharian atau bisnis musik.
Di tahun 1970- hingga 1980-an, hampir semua kegiatan adat masyarakat dilakukan dalam bentuk tortor dan gondang sabangunan, baik dalam pesta adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan juga pesta adat kematian orangtua, bahkan kalangan pemuda menggelar “pesta naposo”sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang bintang (Simalungun). Tidak ketinggalan Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, dalam rangka pelestarian seni budaya Batak Toba selalu menggelar festival tortor menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Festival ini dilakukan mulai dari tingkat Kecamatan hingga diperoleh utusan dari 5 wilayah (Silindung, Humbang I, Humbang II,  Toba dan  Samosir) untuk mengikuti Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival Tortor di tingkat Propinsi. Setelah otonomi daerah, masing-masing Kabupaten ex Tapanuli Utara juga menggelar festival tortor dalam berbagai kegiatan pesta perayaan hari jadi atau hari-hari besar lainnya juga untuk kegiatan kepariwisataan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan bergulirnya waktu, kehadiran gerak tari yang trend di tahun 1990-an seperti dansa, jojing dsb, simultan dengan munculnya alat musik elektronik (keyboard), di beberapa wilayah  Tapanuli, penggunaan tortor dan gondang sabangunan hampir tidak kelihatan lagi, hingga bila masyarakat ingin menyaksikan gondang sabangunan dan tortor Batak harus secara khusus ke daerah wisata yang memang tersedia kelompok seni budaya tradisionalnya seperti Tomok, Simanindo, Pangururan di Samosir, Perkampungan Wisata di Jangga kec.Lumbanjulu Toba, sementara kelompok gondang sabangunan kelihatannya “bubar” atau hijrah ke luar bona pasogit antara lain ke Jakarta atau Jawa, Riau dan sebagainya. Kalaupun ada hajatan atau pesta yang menginginkan gondang Batak biasanya dipesan dari wilayah Toba (Balige, Porsea, Laguboti) dan wilayah Samosir, sedang di wilayah Humbang peralatan musik gondang yang digunakan kelihatannya tidak lengkap (hanya ada beberapa buah taganing, ogung dan seruling).
Hingga memasuki abad 21, alat musik yang dipergunakan merupakan campuran dari alat musik modern (keyboard, drum) dengan alat musik tradisional (taganing, seruling) saja, dan hampir seluruh daerah/wilayah memilikinya dengan menggunakan “lagu/nyanyian” modern yang diciptakan seiring dengan trend lagu yang berkembang. Mungkin bagi orang-orang yang mendalami adat dan seni budaya Batak tradisional, kondisi ini sedikit menimbulkan pertentangan bathin bahkan tidak respek, sementara bagi masyarakat umum tidak mempersoalkannya bahkan menikmatinya.
Ada ironi yang terjadi dalam penyelenggaraan pesta yang menggunakan musik modern atau campuran sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika penyelenggara(hasuhuton) dan para tetamu, undangan (naniontang) akan manortor, maka dia meminta pemusik untuk menggelar musiknya dengan menyebut “Panggual-Pargonsi, baen hamu ma jo gondang i, asa manortor hami, baen hamu ma gondang mula-mula, gondang somba, gondang simonang-monang, gondang hasahatan sitio-tio”.  Maka kelompok musik akan menabuh drum dan membunyikan keyboardnya dengan lagu-rythim modern dan tarian yang dipertunjukkan sudah pasti tarian “modern” bukan lagi tortor Batak.
Kondisi yang demikian tentu akan semakin mempercepat punahnya tortor Batak dan musik tradisional Batak-gondang sabangunan, hal ini sudah menggejala dan kelihatan nyata terutama bagi generasi muda Batak, mereka tidak lagi mengetahui tortor dan musik Batak yang sebenarnya, yang mereka ketahui adalah apa yang mereka lihat selama ini “musik dan tarian modern” yang ddigelar dalam pesta-pesta, itulah tortor dan musik Batak. Timbul pertanyaan, haruskah kita biarkan tortor-musik tradisional Batak ini punah? Bukankah tortor dan musik Batak tersebut adalah identitas budaya Batak dalam keragaman seni budaya Indonesia?
Tortor, Makna Kehidupan Seni-Budaya Orang Batak
Sebagaimana lazimnya dalam berbagai etnis di dunia, gerak tari sebagai bagian dari seni budaya merupakan refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Bahasa menunjukkan bangsa, sebut para budayawan, maka tarian/gerak adalah juga bahasa (tubuh) yang menggambarkan bangsa. Dalam tarian tergambar cita rasa, daya cipta dan karsa dari sekelompok orang-orang. Tarian Melayu yang lemah gemulai, tarian Nias atau Papua yang menghentak-hentak, atau tarian Mexico yang cepat-sigap, menggambarkan bahasa hati/jiwa, sikap hidup mereka.
Akan halnya tortor Batak, tidak jauh berbeda dengan makna yang digambarkannya dalam gerak yang selalu diiringi oleh musik tradisional gondang sabangunan. Tortor Batak juga menggambarkan pengalaman hidup orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira/senang, bermenung, berdoa/menyembah, menangis, bahkan keinginan-cita-cita dan harapan dan lain sebagainya dapat tergambar dalam Tortor Batak. Karenanya, penulis tidak menerima pernyataan sementara orang-orang bahwa Tortor Batak sifatnya “monoton” atau begitu-begitu saja.
Di era masuknya agama Kristen ke tanah Batak, pernah terjadi di sebuah wilayah bahwa tortor Batak tidak diperbolehkan dipagelarkan dalam pesta atau hajatan lain, karena dianggap bernuansa “animisme” bahkan di zaman inipun justru ada “agama” yang mengharamkan menggunakan ulos,, tortor, gondang sabangunan dan adat Batak  dengan alasan bahwa mereka yang menggunakannya bukan orang yang beragama. Kenyataan di dalam masyarakat, ulospun dibakar, mereka yang menggelar gondang dan tortor Batak dikeluarkan dari sekte gereja.
Dapat digambarkan bahwa tortor Batak memaknai kehidupan seni-budaya Batak, persoalannya apakah bertentangan dengan agama atau tidak tergantung kepada cara pandang dan pemahaman kita. Bahkan akhir-akhir ini, justru dalam kebaktian agama (gereja) tortor dan gondang Batak telah menjadi bagian dan pendukung acara kebaktian (misalnya lakon pengakuan dosa dan mengantar persembahan digambarkan/dikoreografis dengan tortor Batak). Gambaran kehidupan orang Batak sebagaimana direfleksikan dalam tortor Batak tentu akan dapat dipahami melalui urut-urutan dan nama musik gondang yang diminta oleh tetua kelompok (paminta gondang), biasanya didahului dengan Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang  diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio. Demikian juga tortor/gerakan yang dilakonkan akan berbeda sesuai dengan irama dari gondang yang dibunyikan oleh Pargonsi (Pemusik).
Bagi mereka yang mengetahui, memahami dan menikmati irama gondang dan tortor akan menyadari betul apa yang digambarkan dan dimaknai tortor yang dipagelarkan. Dengan demikian, semua orang Batak dapat manortor tetapi tidak semua disebut panortor (penari) atau “pandai manortor”  karena untuk menjadi panortor Batak haruslah memiliki talenta dan latihan yang kontinu.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Tortor (Batak)
Dalam melakonkan Tortor, sudah barang tentu tidak sekedar membuat gerak tangan, kaki atau badan, juga gerak mata (pandangan) dan ekspressi (mimik) tetapi juga musik pengiring yang dipergunakan harus berirama Batak  yakni gondang sabangunan yang terdiri ada taganing, ogung (doal, panggora, oloan), sarune, odap gordang dan hesek, sebab gerakan manortor harus mengikuti irama/rytme perangkat musik tersebut. Selain itu, pakaian yang lazim digunakan juga harus sesuai dengan motif Batak, misalnya selendang atau ulos yang dipakai  tergantung maksud dan tujuan acara-pesta seperti ulos  sibolang, ragi idup, tali-tali, suri-suri dan sebagainya
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa gerak tortor Batak berbeda dalam setiap jenis musik yang diperdengarkan dan berbeda pula gerak tortor laki-laki dan gerak tortor perempuan. Menurut para pemerhati tortor, bahwa tortor yang dilakonkan juga dibedakan antara tortor raja dengan tortor natorop.
Sementara perangkat lain dalam acara tortor Batak biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara/juru bicara (paminta gondang), untuk yang terakhir ini sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang. Bagaimanapun juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya masyarakat Batak yang harus dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia. Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda.
Jika belakangan ini dilansir bahwa generasi muda Batak kehilangan jati diri ditandai dengan tidak mampu berbahasa Batak, tidak bersikap seperti orang Batak, tidak memahami seluk-beluk adat Batak, maka ke depan hal ini harus menjadi bagian dari perhatian masyarakat Batak dan Pemerintah di Bona Pasogit.
Selayaknya kita berterima kasih kepada Pemerintah Daerah yang berupaya melestarikan budaya Batak baik melalui penetapan Belajar Aksara Batak menjadi muatan lokal di sekolah SD, (mungkin perlu hingga tingkat SMP dan SMA); tetapi alangkah baiknya bila Pemerintah Daerah juga memberi perhatian terhadap pelestarian adat budaya Batak seperti Festival Marhata Adat, Festival Tortor, Festival Marturi-turian, Lomba Menulis Cerita-Legenda/Sejarah, dan lain sebagainya.
Aksara Batak
Perkembangan budaya tradisional Nusantara mengalami tantangan yang semakin kompetitif dari budaya-budaya negara lain. Hal ini merupakan indikasi diperlukannya suatu terobosan inovatif untuk mendongkrak kembali nilai-nilai budaya tradisional yang terpuruk ke tempat yang lebih layak dalam pandangan masyarakat modern.
Salah satu aksara yang perlu mendapat perhatian khusus adalah aksara Batak yang terancam punah terkait dengan keterbatasan sumber data dan informasi. Berbeda dengan sastra dan budaya Jawa yang cukup eksis, aksara Batak masih sangat minim dimengerti oleh masyarakat. Bahkan sebagian besar masyarakat Batak sendiri tidak mengetahui adanya aksara Batak.

Faktor-faktor penyebab punahnya tradisi penulisan aksara Batak antara lain:
1. Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-  torhanan,   turiturian, huling-hulingan semuanya diturunkan hanya secara lisan dari generasi ke generasi.
2. Masuknya agama Islam dan Kristen ke tanah Batak, yang membenci produk-produk pustaha para datu yang dianggap “obyek-obyek kekafiran”    sehingga mengakibatkan timbulnya pemusnahan massal. Akibatnya, semenjak tahun 1852 pustaha telah terancam punah
3. Sisa pustaha Batak yang masih ada tersimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan mancanegara terutama Belanda dan Jerman, dan sebagian kecil di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Dalam era modern saat ini media komunikasi tulis global yang paling efektif adalah huruf latin. Fakta inilah yang menjadi dasar upaya adaptasi karakter aksara Batak ke dalam huruf latin, sebagai suatu solusi yang baik dari segi fungsi, efisiensi serta faedah yang dapat diterima oleh masyarakat. Faktor-faktor ini penting, mengingat aksara dalam segi komunikasi tidak dibutuhkan lagi.
Tujuan akhir dari proses penelitian adalah dihasilkannya desain huruf latin berkarakter Aksara Nusantara, dengan fokus aksara Batak Toba, yang menjadikan aksara Batak mudah diakses dan dikenal karakternya oleh suku dan bangsa lain di seluruh dunia, termasuk masyarakat Batak sendiri. Dengan demikian, huruf latin berkarakter aksara Nusantara ini dapat difungsikan sebagai mediator sosialisasi visual aksara Batak dengan tingkat efektivitas yang setara dengan huruf latin dan tingkat penyebaran bertaraf global.
Proses Perancangan Pola Huruf
Sebagai media komunikasi tulis, aksara memiliki perbedaan signifikan dengan huruf latin, terutama dari segi visual dan teknis pembacaan. Pembeda dari segi visual antara lain proporsi, karakter visual, anatomi huruf, dan konstruksi geometri. Pembeda dari segi teknis pembacaan adalah aksara Batak termasuk dalam jenis aksara silabik, yaitu aksara yang menggambarkan suku kata (a-ha-ma-na-ra) sedangkan huruf latin termasuk dalam jenis aksara fonetik yaitu jenis aksara yang berupa lambang fonem (ab-c-d-e). Atas dasar perbedaan-perbedaan ini, maka proses adaptasi karakter huruf memerlukan suatu bentuk pola dasar huruf yang menjadi titik temu antara karakter aksara Batak Toba dengan karakter huruf latin.
2
Urutan Aksara Batak Toba (Ina ni surat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar