Sabtu, 10 Maret 2012

marpasipangon


Marsipanganon dalam tradisi adat batak

MARSIPANGANON

MAKAN BERSAMA sangat penting dan bermakna khusus bagi
komunitas Batak. Tidak ada suatu pembahasan atau kegiatan penting
yang boleh dilakukan sebelum makan bersama. lngkon di ginjang ni
sipanganon do pangahataion na marsintuhu. Makan bersama atau
sapanganon adalah tanda persekutuan, kebersamaan dan perdamaian.
Bukan sekedar untuk mengenyangkan perut atau bertahan untuk hidup
(survive).
Ada bermacam bentuk makan bersama dalam kultur Batak.
- ada tradisi mamboan sipanganon (membawa makanan ke rumah seseorang) dan
- ada pula mamio (mengundang orang datang untuk makan),
- memberi makan pihak “atas” (manulangi)
- memberi makan pihak “bawah” (mangupa),
- makan dalam rangka meminta sesuatu dan ada juga hanya untuk mentraktir (manggalang),
- makan merayakan sukacita (mangan haroan, mamoholi, pesta unjuk) atau menghayati kedukaan (mangan
indahan sipaet-paet/ togar-togar).

Kultur Batak secara umum menyebutkan makan sebagai mangan
indahan na las (makan nasi hangat) dan minum aek sitio-tio (minum air
bening). lndahan na las dohot aek sitio-tio adalah simbo! kehidupan
penuh sukacita dan kejujuran. Makan bersama sebab itu bertujuan
merayakan kehidupan dan kebenaran.

Menarik, bahwa bahasa Batak sama-sama menggunakan kata "las" untuk
menyebutkan hangat maupun sukacita. Kata tio berarti bening,
digunakan untuk air maupun pandangan. Air yang bening adalah simbol
transparansi, kejujuran dan ketulusan. Kultur Batak sangat menghargai
hal itu.

1. TUDU-TUDU SIPANGANON
Tudu-tudu sipanganon (bila dalam keadaan lengkap atau dilanjutkan
dengan parjambaran disebut na margoar) adalah bagian-bagian
tertentu hewan sembelihan yang diletakkan di tengah-tengah sebagai
simbol penghormatan hasuhutan kepada undangannya khususnya
hula-hula. Sebagai balasnya hula-hula akan memberikan ikan
(dengke) dan beras (dahulu medium berkat sekarang harus diartikan
hanya sebagai "simbol horas").

Sering kita saksikan sekarang sewaktu menyerahkan tudu-tudu
sipanganon pihak keluarga akan beramal-ramai memegang piringnya
dan kalau mereka terlalu banyak jumlahnya akan saling memegang
bahu. seolah-olah ada sesuatu yang hendak dialirkan. Padahal
kesaksian orang tua-tua pada jaman dahulu tidak begitu. Tudu-tudu
sipanganon cukup diletakkan di tengah-tengah ruangan di hadapan
undangan terhormat! Bagi kita orang Kristen iebih baik tudu-tudu
sipanganon diletakkan di tengah-tengah ruang agar tidak
menimbulkan salah tafsir seolah-olah makanan itu memiliki kekuatan
magis atau menjadi medium penyaluran berkat. Sebab tudu-tudu
sipanganon itu kini hanyalah simbol penghormatan kepada undangan
bahwa jamuan dilakukan dengan khidmad dan sepenuh hati. yaüu
dengan sengaja menyembelih seekor hewan. dan bukan membeli
daging kiloan di pasar (rambingan).
Sebagai simbol tudu-tudu sipanganon seharusnya pertama kali
disampaikan kepada Allah dan kemudian kepada manusia. Sebab
itu dalam even pertemuan Kristen-Batak sebaiknya kita lebih dulu
berdoa makan sebelum menyerahkan tudu-tudu sipanganon kepada
hula-hula. ltulah tanda bahwa kita lebih taat dan hormat kepadaAllah
daripada kepada manusia (Kis 5:29).

2.SAPA
Sapa adalah piring kayu berdiameter lebih-kurang 40 cm. Pada jaman
dahulu keluarga nenek moyang kita makan duduk lesehan di lantai
menggunakan satu sapa. Lazimnya 1(satu) rumah memiiiki 1(satu)
sapa. Bapa, ibu dan anak-anak makan di satu sapa dengan tertib,
sopan dan hormat. Peranan sapa sebab itu mirip dengan meja makan*
di rumah kita orang moderen. 1 satu) rumah t(satu) meja makan.
Yang terpenting bukanlah sapa atau meja makan itu, tetapi
kesatuan keluarga yang menggunakan sapa atau meja makan
itu.Tentu saja kita sekarang tidak mungkin lagi kembaii ke tradisi
sapa. Namun acara makan dan doa bersama satu keluarga inti harus
tetap kita lestarikan dan laksanakan. Mungkin bagus jika kita
komunitas Kristen-Batak dapat menjadikan sapa sebagai simbol
kebersamaan keluarga inti: ayah, ibu dan anak-anak. Sebab ada
kecenderungan kita hanyut dengan ritus-ritus keluarga besar (na saompu , parmargaan)
dan mengabaikan peranan keluarga inti sebagai dasar dan tiang kehidupan.


3.MARMEME
  jaman dahulu ibu-ibu marmeme, mengunyahkan makanan
  anak-anaknya yang masih kecil. Makanan lebih dulu dikunyah
  kemudian secara cepat dan trampil langsung dimasukkan ke mulut
anak kecil. Persis seperti burung atau hewan iainnya. Bagi
arang moderen mungkin ini dianggap menggelikan, kurang higienis
atau “jorok”. Namun pada jaman dahulu marmeme adalah
wajar dan merupakan tanggungjawab orangtua. Sebagaimana
marmeme sangat meneguhkan hubungan emosional antara anak dan orang tua
Ada satu umpama yang dalam tentang marmeme:
"Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru".
Artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki atau anak perempuan.


4.MANULANGI & MANGUPA-UPA
Kultur batak mengenal istilah manulangi. yaitu menyampaikan menyampaikan makanan yang lezat
kepada orangtua atau hula hula. Dahulu motifasi memberi makanan ini selain untuk menyenangkan hati orangtua atau
menyampaikan permohonan kepada yang diberi makan.
Apalagi ketika memberi sulang-sulang hariapan atau perjamuan purna bakti atau pensiun dari adat kepada seorang tua.
sebetulnya lebih kental dengan kepentingan anak-anak dari pada kepentingan orang tua yang sudah lanjut usia itu.
Disinilah iman Kristen harus menerangi dan menggarami kultur manulangi . Acara manulangi haruslah berdasarkan kasih agape atau (holong na so marpambuat) dan hormat tanpa syarat
(hormat naso marsiala) kepada orangtua.

Mangupa-upa adalah kebalikan dari manulangi.
Yaitu dari orangtua hula-hula kepada boru. Tujuannya terutama untuk menguatkan, meneguhkan dan memberi semangat kepada anak atau boru yang sakit,terkejut atau baru lepas dari bahaya.
 Pada jaman pra kristen orang yang sakit, lemah, terkejut, celaka dianggap ditinggalkan oleh roh nya
(tondi-nya) karena itu perlu diupa-upa agar rohnya kembali (mulak tondi tu ruma)
Sebab itulah nenek moyang kita kadang memberikan beras keatas kepala anak atau borunya.

Istilah boras si pir ni tondi menunjuk kepada pemahaman bahwa tondi
(roh) si sakit harus dikuatkan dan didinginkan. Istilah boras si
pir ni tondi ini tidak cocok lagi dengan kekristenan kita yang
menghayati kesatuan pribadi (tubuh-roh). Selain itu bagi kita yang
beriman kepada Kristus makanan (sipanqanon) tidak lagi dianggap
memiliki kekuatan magis atau menjadi medium berkat. Sumber
kesembuhan. kekuatan dan keselamatan kita adalah Tuhan Yesus
Kristus yang telah mati dan bangkit. Boras hanyalah simbol
hahorason!
Sebab itu acara mangupa-upa bagi kita adalah kebaktian atau ibadah
memohon kesembuhan atau kekuatan kepada Allah Bapa, AnakNya
Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Makanan upa-upa hanyalah
simbol kasih dan perhatian kita kepada yang .sa-fit dan bukan medium
(parhitean) berkat. Dalam mangupa-upa perhatian kita harus tetap
tertuju kepada Kristus yang tersalib dan bangkit. Jelas dan tegas
bagi kita Kristus itulah satu-satunya sumber kekuatan.

5 MANGAN INDAHAN NA SINAOR atau PARPANGANAN NA BADIA
Kultur Batak mengenal apa yang dinamakan mangan indahan na
sinaor atau perjamuan pendamaian (pemulihan hubungan). Jika ada
dua orang atau kelompok yang terlibat konfik maka mereka akan
menyelesaikan konflik melalui makan bersama yang biayanya dipikul
oleh kedua belah pihak. Bagi kita komunitas Kristen-Batak tentu tidak
ada larangan menyelenggarakan makan bersama sebagai tanda
perdamaian ini. Namun, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya
Kristuslah yang mendamaikan kita (Efesus 2:13-18). Karena itu
Perjamuan Kudus (ekaristi) itulah sesungguhnya perjamuan
pendamaian yang sejati. Melalui Perjamuan Kudus pertama-tama
dan terutama kita diperdamaikan dengan Allah dan sebagai
dampaknya diperdamaikan dengan sesama, diri sendiri dan alam lingkungan kita.
Dalam Perjamuan kudus  tubuh dan darah Tuhan hadir dalam dan bersama sama
roti dan anggur yang kita makan. (con-substansia).
Roti dan anggur tidak berubah  wujud namun tubuh dan darah Tuhan Yesus:
sumber pengampunan dosa, pendamaian, kehidupan yang kekal, suka ita, dan damai sejahtera kita.

Dalam gereja purba (1Kor 11:17-22) dikenal perjamuan kasih (agape).
Sebelum Perjamuan Kudus, maka jemaat lebih dulu makan bersama,
yang bahannya dikumpulkan dari yang dibawa oleh masing-masing
anggota. Lambat-laun tradisi ini menghilang. Namun sebenarnya baik
jika dihidupkan kembali oleh gereja-gereja berlatar belakang budaya
Batak dan modernitas yang sangat haus akan kebersamaan dan
persekutuan (communion).

"Pertanyaan :siapa yang paling berat menanggung biayamarp
tradisi makan (marsipanganon) Batak ini? Apakah jamuan-jamuan
makan ini membebaskan (meringankan) atau malah memberatkan
(menekan) komunitas Kristen-Batak itu sendiri terutama yang
ekonominya lemah?"

6.SEMUA BOLEH TETAPI TIDAK WAJIB
Apa kata Alkitab tentang makanan? Yesus mengatakan bahwa segala
sesuatu boleh dimakan, yang najis bukanlah apa yang masuk melalui
mulut tetapi apa yang keluar dari mulut (perkataan). (Mat 15:11)
Segala sesuatu dapat dimakan dan diminum. tidak ada yang haram.
(Kol 2:16). Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman(Roma
14:17). Tidak ada jenis makanan yang mendekatkan atau
menjauhkan diri kita dari Allah (1Kor 8:8-10). Kita boleh makan dan
minum apa saja (termasuk daging bercampur darah, atau alkohol)
dengan ucapan syukur. Dan kita tidak diijinkan menjadikan kebebasan
itu sebagai batu sandungan bagi orang lain. Kita harus menguasai
diri dan tidak boleh diperhamba oleh makanan atau minuman
(termasuk bir atau anggur). Karena itu kita juga tidak boleh
menjadikan sangsang (daging babi) sebagai tanda kekristenan kita.
Tanda kekristenan kita yang sesungguhnya adalah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita abadi oleh Roh Kudus (Roma 14:17).

 (Pdt. Daniel T.A Harahap)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar