Minggu, 11 Maret 2012
Menyingkap Sejarah dan Keajaiban Sigale-gale
Pertunjukan tarian boneka Sigale-gale sudah sangat langka. Jumlah boneka Sigale-gale pun konon tinggal beberapa saja. Tidak gampang membuatnya. Ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat boneka Sigale-gale harus menyerahkan jiwanya pada boneka kayu buatannya itu agar si boneka bisa bergerak seperti hidup. Bagaimana pertunjukan mistis ini bisa sampai melekat dalam masyarakat Batak? Untunglah sampai hari ini Sigale-gale belum punah sama sekali. Masih ada beberapa sisa patung yang dipahat puluhan tahun silam. Kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa kemunculannya meski sangat jarang. Jika mau menonton langsung pertunjukan tradisional dari Tanah Batak itu, pergilah ke Samosir. Kabarnya ada empat tempat yang dapat mempertontonkannya di sana. Dua di antaranya yang mudah dijangkau adalah tempat wisata Tomok dan Museum Hutabolon Simanindo. Pengunjung dapat memesan langsung pertunjukan Sigale-gale dengan bayaran tertentu. Pengunjung yang ingin menontonnya pun tidak dibatasi dari jumlah dan usia. Terkadang dua tiga orang yang tertarik, seperti turis mancanegara, dapat meminta kepada pengusaha pertunjukan untuk segera memainkannya dengan iringan musikal gondang Batak dan delapan sampai sepuluh penari pengiringnya. Rombongan anak-anak sekolah pun sering berkunjung ke Samosir untuk menyaksikan Sigale-gale dalam durasi tertentu dari pilihan-pilihan repertoar musiknya. Repertoar di dua tempat tersebut dapat membosankan jika melebihi satu jam. Apalagi sekarang musik pengiringnya sudah sering menggunakan rekaman kaset audio (playback). Suasana pertunjukan tarian boneka Sigale-gale memang sangat menarik dan menghibur. Bayangkan, sebuah boneka yang terbuat dari kayu dapat menari seperti manusia. Kelihatannya memang seperti manusia jika semakin diperhatikan. Boneka yang tingginya mencapai satu setengah meter tersebut diberi kostum tradisonal Batak. Bahkan semua gerak-geriknya yang muncul selama pertunjukan menciptakan kesan-kesan dari contoh model manusia. Kepalanya bisa diputar ke samping kanan dan kiri, mata dan lidahnya dapat bergerak, kedua tangan bergerak seperti tangan-tangan manusia yang menari serta dapat menurunkan badannya lebih rendah seperti jongkok waktu menari. Padahal semua gerakan itu hanya di atas peti mati, tempat disimpannya boneka Sigale-gale seusai dipajang atau dimainkan. Kenapa itu bisa terjadi? Tentu dua tiga orang dalangnya ada di belakang dengan menarik jalur-jalur tali secara anatomis. Dalang Legendaris Dulu, Sigale-gale sempat dimainkan hanya oleh satu orang dalang. Dalang terakhir yang terkenal adalah Raja Gayus Rumahorbo dari kampung Garoga, Tomok. Beliau pernah tampil pada festival Sigale-gale di Pematang Siantar (Simalungun) pada tahun 1930-an. Malahan, kabarnya Sigale-gale yang dimainkannya waktu itu adalah hasil buatannya sendiri. Raja Gayus dikenal mampu membuat Sigale-gale mengeluarkan airmata dan punya kemampuan mengusapkan ulos (kain tenunan Batak) yang disandangkan sebelumnya di bahu sang boneka kayu. Airmata yang keluar tentu saja air yang mengalir dari bagian kepala Sigale-gale yang dilubangi. Namun bagaimana teknis mengeluarkannya masih sulit dibayangkan, karena biasanya diisi dengan kain lap basah atau wadah kecil yang muat di bagian yang berlubang itu. Pewaris Raja Gayus Rumahorbo mengatakan, Sigale-gale yang dimainkan pada festival itu kini berada di Belanda. Satu boneka lagi, masih menurut pewarisnya, terdapat di Jakarta. Memang Museum Nasional di bagian khusus kebudayaan Batak pernah diinformasikan menyimpan patung Sigale-gale. Rayani Sriwidodo Lubis melahirkan sebuah buku ceritanya berjudul Sigale-gale (PT Dunia Pustaka Jaya, 1982) diperkirakan mendapat inspirasi setelah melihat patung yang ada di museum itu. Mistik di Balik Pembuatan Sigale-gale Kisah pembuatan patung Sigale-gale masih lestari di kampung Garoga. Kampung ini berjarak sekitar tiga kilometer dari Tomok, dan naik ke arah kiri yang dibentengi pegunungan Samosir. Gunung sekitar itu dikenal dengan nama Naboratan yang dapat berarti “sangat berat”. Ada satu air terjun, yang dalam bahasa setempat disebut dengan nama Sampuran Simangande. Air terjun yang konon menyimpan batu-batuan aneh dan posisi gunung seperti tembok yang sangat tinggi itu sempat menambahi kesan lebih jauh tentang kampung yang dikenal masih menyimpan patung Sigale-gale itu. Ternyata suasana alam yang melatarbelakangi kampung Garoga sama sekali tidak ada kaitannya dengan munculnya patung Sigale-gale. Setidaknya dalam kaitan bahan-bahan seperti kayu dan upacara tertentu untuk patung Sigale-gale. Kampung Garoga juga tak bisa dipastikan sebagai setting cerita Sigale-gale. Kampung ini hanyalah salah satu kampung selain kampung Siallagan atau Ambarita. Malahan informasi tentang sebuah patung Sigale-gale pernah ada dari sekitar Silimbat Porsea. Hari itu, di teras sebuah rumah yang berarsitek modern, kami diperlihatkan pada dua unit Sigale-gale yang sudah berumur 30 dan 70 tahun. Salah seorang keturunan Raja Gayus menyambut kedatangan kami dengan minuman tradisional tuak dan natinombur (ikan panggang dengan racikan sambal khas Batak). Beberapa orang pemusik sudah siap-siap di posisi belakang terletaknya kedua Sigale-gale itu dengan instrumen selengkapnya. Sekitar setengah jam mereka memainkan sejumlah repertoar musik yang konteksnya tidak jauh dari kategori musik ritual Batak. Biasanya ada tujuh macam cara musikal yang dilakukan dalam ritual Batak. Namun selesai pertunjukan, kami lebih terfokus membicarakan seputar Sigale-gale sendiri. Terkait dengan pembuatannya, patung Sigale-gale diliputi oleh cerita yang mistis atau seram. Bila seseorang sudah bersedia membuat patung Sigale-gale, berarti ia sudah pasti menjadi tumbal. Setelah menyelesaikan sebuah patung, si pembuat akan segera meninggal. Mungkin kepercayaan ini pulalah yang membuat patung Sigale-gale menjadi ekslusif dan tidak pernah dibuat banyak-banyak. Berdasarkan kejadian-kejadian itu, proses pembuatan Sigale-gale kemudian dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ada yang khusus mengerjakan pembuatan tangan, tungkai kaki, bagian badan, dan kepala. Mungkin secara bersama juga tali-tali dan kerandanya yang berukiran Batak diselesaikan. Jumlah tali-tali pada setiap patung yang dibuat tidak selalu serupa. Pada dua unit Sigale-gale tadi, salah satunya mempunyai tali penarik 17 ruas. Dulu tali-tali tersebut katanya sama sekali tidak ada. Gerakan patung berlangsung hanya dengan kekuatan gaib yang dimiliki dalangnya. Patung yang dihidupkan demi kekuatan gaib dalam tradisi Batak disebut dengan gana-ganaan dan dia dapat menyerupai totem. Seorang pembuat patung Sigale-gale dulunya dikenal dengan sebutan Datu Panggana, karena didorong oleh suatu kekuatan gaib juga. Bahan yang digunakan untuk patung Sigale-gale biasanya dari sejenis pohon bernama ingul dan pohon nangka. Pohon nangka khusus digunakan untuk bagian tangan dan kepala. Sedangkan pohon ingul untuk bagian badan dan kaki. Kayu ini termasuk jenis kayu yang bermutu dan sering digunakan membuat perahu. Tidak ada makna simbolis dengan pilihan atas kedua kayu itu. Pengerjaan satu patung Sigale-gale dapat memakan waktu satu tahun. Asal Mula Sigale-gale Selesai pengerjaan patung Sigale-gale, para pembuat atau pemesannya tidak boleh menempatkan serta menyimpannya di dalam rumah. Ada tempat khusus untuk menyimpan patung Sigale-gale zaman dahulu. Namanya disebut sopo balian, sebuah rumah-rumahan di tengah sawah. Tersebutlah seorang raja yang kaya bernama Tuan Rahat. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Manggale. Anaknya tersebut diharapkan segera mendapat jodoh. Namun setiap perempuan yang disukainya selalu tak mau mendampinginya. Suatu ketika, sang raja turut mengirim anaknya berperang dalam rangka meluaskan wilayah kerajaan. Anak itu ternyata mangkat pula di medan perang. Untuk mengenang anaknya, sang raja memesan sebuah patung dibuatkan mirip sang anak, dan sehidup mungkin. Patung tersebut kemudian dinamainya Sigale-gale. Namun sang raja memesankan agar patung tersebut ditempatkan saja agak jauh dari rumah, yakni di sopo balian. Nanti, pada saat upacara kematiannya, patung itu dapat dijemput untuk menari di samping jenazahnya. Jadi pertunjukan Sigale-gale dulunya diadakan hanya kepada seorang raja yang kehilangan keturunan. Tapi kemudian, kebiasaan raja itu diperluas kepada setiap orang yang tidak punya keturunan. Setiap orang yang sengaja memesankan patung Sigale-gale untuk alasan itu disebut dengan papurpur sapata (menaburkan janji). Ketika kematian sudah tak terelakkan, Sigale-gale dengan tariannya menjadi semacam pengobat impian yang pernah kandas bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan sampai pada upacara kematiannya. Tapi ada versi lain tentang cerita Sigale-gale. Konon, seorang dukun bernama Datu Partaoar, ingin sekali mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Suatu ketika dia menemukan sebuah patung cantik di tengah hutan, persis seperti seorang gadis yang tubuhnya terlilit kain dan beranting-anting. Dia kemudian membawa gadis itu setelah mengubahnya dari patung menjadi manusia. Istrinya yang juga berharap-harap selama ini untuk mempunyai keturunan memberi nama gadis itu dengan nama Nai Manggale. Dia menjadi gadis yang disenangi penduduk karena kelembutannya. Suatu ketika dia harus mendapatkan pendamping hidup. Namun seperti ibunya, ia tidak dapat melahirkan keturunan secara biologis. Dia pun berkata kepada suaminya yang bernama Datu Partiktik agar memesan pematung untuk membuatkan sebuah patung yang bisa menari di samping jenazahnya suatu ketika. Patung tersebut dinamai Sigale-gale. Berdasarkan versi itulah kiranya tarian Sigale-gale pernah ditemukan dengan pasangan laki-laki dan perempuan. Sigale-gale secara etimologis dapat berarti “yang lemah gemulai”. Demikianlah sebenarnya kesan melihat tarian boneka Sigale-gale. Entah mungkin juga mereka kembar. Yang laki-laki namanya si Manggale dan perempuan bernama Nai Manggale.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar